Banda Aceh (DETAK24.COM) – Seorang nelayan di Lhokseumawe, Nazaruddin Razali mengajukan permohonan suntik mati ke Pengadilan Negeri (PN) setempat. Ia mengaku jadi tertekan gara-gara dilarang menangkap ikan oleh pemerintah setempat. Sehingga berniat ingin mengakhiri hidupnya.
Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) mendampingi Nazaruddin yang mengajukan permohonan suntik mati. Permohonan diajukan ke Pengadilan Negeri Lhokseumawe, Kamis (7/1) kemarin.
Permohonan itu terdaftar dengan nomor perkara 2/pdt.p/2022/PN LSM. Kuasa hukum penggugat, Safaruddin, mengatakan permohonan suntik mati diajukan karena kliennya tidak sanggup menghadapi tekanan, termasuk dari Pemkot Lhokseumawe. Wali Kota disebut telah mengeluarkan aturan melalui surat nomor 523/1322/2021 yang isinya melarang budidaya ikan di dalam Waduk Pusong.
Safaruddin mengatakan pernyataan Muspika di media massa yang menyatakan Waduk Pusong merupakan tempat pembuangan limbah rumah sakit dan rumah tangga sehingga ikan di sana tidak sehat dikonsumsi juga menjadi penyebab kliennya tertekan. Setelah pernyataan itu keluar, pendapatan kliennya berkurang karena warga tidak lagi membeli ikan.
“Dengan berbagai tekanan yang pemohon hadapi saat ini, baik itu dari Wali Kota Lhokseumawe, Muspika, dengan kondisi pemohon yang sudah tua dan sakit-sakitan juga sebagai kepala keluarga yang tetap harus memenuhi kebutuhan hidup, membuat pemohon sangat tertekan dan menilai bahwa negara tidak berpihak kepada Pemohon sebagai warga negara,” ujar Safaruddin.
“Oleh karena itu, pemohon dengan memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Lhokseumawe agar mengabulkan permohonan pemohon untuk melakukan eutanasia di Rumah Sakit Umum Kesrem Lhokseumawe dengan disaksikan oleh Wali Kota Lhokseumawe, Camat Banda Sakti, dan Danramil Banda Sakti,” lanjut Safaruddin
Berdasarkan catatan, lima tahun lalu permohonan serupa pernah diajukan pria di Banda Aceh tapi ditolak hakim. Permohonan suntik mati pertama di Aceh diajukan Berlin Silalahi pada Rabu 3 Mei 2017. Permohonan itu terdaftar di Pengadilan Negeri Banda Aceh dengan nomor perkara 83/Pdt.P/2017/PN Bna.
Pendaftaran permohonan dilakukan oleh istrinya, Ratnawati. Saat itu dia datang bersama kuasa hukumnya dari Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), sementara Berlin tidak ikut.
Permohonan eutanasia atau mengakhiri hidup dengan suntik mati ini dipilih Berlin bukan tanpa alasan. Ia mengaku tidak tahan dengan penyakit yang sudah menahun dideritanya.
Ia pernah berobat, baik pengobatan medis maupun alternatif. Pada 2014, dia mengalami kelumpuhan. Berlin akhirnya bolak-balik masuk rumah sakit.
“Suami saya sebelumnya menderita penyakit asam urat. Sudah bawa ke rumah sakit dan pengobatan kampung tapi tidak sembuh,” kata Ratnawati kepada wartawan kala itu.
Permohonan itu kemudian disidang oleh hakim tunggal Ngatemin. Putusan perkara itu diketuk Jumat 19 Mei 2017. “Menolak permohonan pemohon,” putus hakim Ngatemin.(dtc)