Menurut Pakar hukum sekaligus mantan anggota Ombudsman, Ninik Rahayu, apa yang dilakukan bupati Langkat telah memenuhi unsur eksploitasi karena diduga mempekerjakan pecandu narkoba dengan jam kerja yang tidak layak, tanpa diupah, hingga ditempatkan dalam kerangkeng yang tidak manusiawi.
Selain itu, penempatan mereka di kerangkeng yang ‘tidak layak’ dan membatasi ruang geraknya dianggap sebagai “bentuk penyiksaan”.
Tetapi, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan menyampaikan bahwa puluhan orang yang dia sebut sebagai “warga binaan” tersebut berada di dalam kerangkeng atas persetujuan keluarga untuk “direhabilitasi” akibat kecanduan narkoba dan melakukan kenakalan remaja.
“Para penghuni tersebut diserahkan oleh keluarganya kepada pengelola untuk dibina. Mereka diserahkan dengan membuat surat pernyataan,” kata Ramadhan melalui konferensi pers di Jakarta, Selasa (25/01).
Meski demikian, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati berpendapat bahwa persetujuan keluarga korban tidak serta merta menghilangkan penuntutan atas praktik perdagangan orang yang terjadi.
Itu pun belum termasuk ancaman pidana akibat penyalahgunaan kewenangan yang dia lakukan sebagai pejabat daerah dengan ‘menahan’ orang-orang tersebut di tempat rehabilitasi ilegal yang tidak sesuai standar.
“Di Undang-Undang TPPO sekali pun, persetujuan korban sama sekali tidak menyatakan bahwa TPPO-nya tidak terjadi. Kalau pun persetujuannya ada selama lingkungannya eksploitatif, prosesnya menghilangkan komunikasi dia ke pihak lain, itu adalah salah satu bentuk TPPO yang harus diusut,” ujar Maidina kepada BBC News Indonesia.
Ketua Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat, Migrant Care, Anis Hidayah menganggap klaim ‘tempat rehabilitasi narkoba’ itu sebagai kedok atas ‘perbudakan yang sewenang-wenang’.
Sebelumnya, Migrant Care melaporkan kasus ini ke Komnas HAM dan menyebut temuan ini sebagai “dugaan perbudakan modern”.
Migrant Care mengatakan informasi yang didapat berdasarkan “wawancara orang-orang di dalam” menunjukkan orang-orang di kerangkeng ini bekerja di perkebunan kepala sawit milik bupati.
Deputi V Kepala Staf Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardani memastikan bupati Langkat akan dihukum seberat-beratnya atas dugaan perbudakan tersebut.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan menuturkan berdasarkan pemeriksaan terakhir masih ada 30 orang yang dikerangkeng. Semua kini telah dipulangkan kepada keluarganya.
Berdasarkan penyelidikan sementara, polisi menemukan lahan seluas satu hektar dan gedung berukuran 36 meter persegi yang dibagi menjadi dua ruangan berjeruji besi yang dibangun sejak 2012.
Namun, Ahmad mengatakan tempat ini tidak berizin dan tidak terdaftar sebagai tempat rehabilitasi.
Ramadhan juga membenarkan bahwa mereka dipekerjakan di pabrik sawit milik Bupati Langkat, namun tidak dibayar dengan dalih memberi keahlian untuk para ‘warga binaan’ sebagai bekal bagi mereka selepas keluar dari tempat tersebut.
“Mereka tidak diberi upah seperti pekerja karena mereka merupakan warga binaan, namun diberikan ekstra puding dan makanan,” kata Ramadhan.
Tetapi sampai saat ini, polisi belum menyebut indikasi adanya perbudakan modern dari operasional kerangkeng rehabilitasi tersebut.
“Ini (dugaan perbudakan) dalam proses, kita melihat dengan kesadaran sendiri orang tua mengantar dan menyerahkan, kemudian dengan pernyataan. Tetapi apa itu, nanti kita lihat dan dalami apa prosesnya. Kita belum bisa cepat-cepat memberi kesimpulan,” ujarnya.
Secara terpisah, Kepala Bidang Humas Polda Sumatra Utara Komisaris Besar Hadi Wahyudi mengakui bahwa kerangkeng tersebut tidak layak dan tidak memenuhi standar tempat rehabilitasi yang semestinya.
Anis Hidayah dari Migrant Care mengatakan rehabilitasi semestinya tidak menjadi alasan bagi Bupati Langkat untuk mempekerjakan orang-orang tersebut secara sewenang-wenang.
“Kalau keterangan Polda mengatakan ini rehab narkoba, bisa jadi dugaannya ini kedok ya untuk bisa memanfaatkan mereka, mempekerjakan secara sewenang-wenang, tanpa gaji, tanpa perlindungan sosial, bahkan ada dugaan penyiksaan. Itu kan perbudakan,” kata Anis kepada BBC News Indonesia.
“Kami terima dokumentasi itu ada yang lebam, kemudian dikerangkeng gitu setelah bekerja. Itu kan perilaku yang keji dan tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia. Walaupun rehabilitasi, tidak boleh ada perlakuan yang merendahkan, yang mengandung kekerasan, itu adalah pelanggaran HAM,” lanjut dia.
Sementara itu, keluarga dari salah satu korban yang berada di dalam kerangkeng tersebut, Muhammad Fauzi, mengaku adiknya yang bernama Muhrifan Affandi “dibina dengan fasilitas gratis yang meringankan beban keluarga”.
Salah satu warga lainnya yang pernah dikerangkeng, Jefri Sembiring membantah ada penyiksaan selama menjalani ‘rehabilitasi’. Jefri juga mengaku tidak pernah bekerja di kebun sawit milik Bupati Langkat.
“Kalau saya tidak pernah,” kata Jeffri.
“Cuci baju, bersih-bersih tempat itu (kerangkeng), itu saja setiap hari,” ungkap dia.
Terkait pengakuan tersebut Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati bependapat keterangan itu tidak bisa menjadi pembenaran atas tindak kriminal yang dilakukan.
“Pastikan dulu seluruh korban tidak mengalami intimidasi dalam keterangannya,” kata Maidina.
“Penempatannya saja tidak manusiawi, ada unsur eksploitatif, ya paling tidak kondisi kerja tidak layak tetap bisa diusut,” lanjut dia.
Sejumlah wartawan di Langkat mengatakan banyak warga dan wartawan sendiri yang takut berbicara soal kerangkeng dan aktivitas bupati.
Kasus yang terjadi di rumah Bupati Langkat adalah bentuk ‘perbudakan pada manusia’ sehingga sudah semestinya dijerat dengan UU TPPO.
Menurut Ninik, tindakan itu bisa dikatakan eksploitatif karena ada ketimpangan relasi kuasa antara Bupati Langkat dengan para pecandu narkoba yang berada dalam posisi rentan dan tidak bisa menolak pemaksaan kerja.
“Walaupun itu diatasnamakan dengan memberikan rehab, tetapi kan tidak sesuai dengan (rehabilitasi) yang seharusnya dilakukan. Tujuannya adalah mengeksploitasi korban, sedangkan korban tidak punya pilihan lain, tenaganya dipakai. Jadi ini ada perbudakan pada manusia,” papar Ninik.
Dia juga mengatakan persetujuan keluarga korban tidak dapat menghilangkan tindak kriminal yang dilakukan oleh pelaku.
“Karena tanda tangan yang diberikan itu diberikan dalam kondisi yang tidak setara antara pelaku dengan korban. Korban dalam kondisi tidak ada pilihan lain kecuali mengiyakan apa yang diinginkan pelaku,” tuturnya.
Senada dengan Ninik, Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati mengatakan tindakan yang diklaim sebagai ‘rehabilitasi’ oleh Bupati Langkat tersebut tidak memenuhi standar dan ketentuan yang berlaku menurut Undang-Undang Narkotika.
Apalagi dengan temuan bahwa orang-orang tersebut dipekerjakan secara berlebihan dari pagi hingga malam dan diberi tempat istirahat berupa kerangkeng yang tidak layak.
“Di Undang-Undang Narkotika itu ada sembilan bentuk kegiatan (terkait rehabilitasi), itu terkait proses adiksi, ada vokasional, tapi enggak dalam konteks eksploitatif. Sifatnya hanya dalam konteks pelatihan, bukan mempekerjakan dengan ada profit di dalamnya,” jelas Maidina.
Selain TPPO, ICJR menilai Bupati Langkat juga bisa dijerat tindak pidana jabatan atas penyalahgunaan wewenang yang terjadi.
Misalnya menggunakan Pasal 421 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur bahwa penyalahgunaan kekuasaan yang memaksa seseorang melakukan sesuatu sehingga merampas kemerdekaan mereka.
“Sebelum polisi mengatakan bahwa ada persetujuan (keluarga korban) yang seolah membenarkan tindakan ini, dari awal seharusnya ini tidak boleh terjadi karena bupati tidak punya kewenangan,” ujar Maidina.
Sementara itu, Ninik Rahayu menegaskan bahwa seorang bupati tidak memiliki wewenang untuk menahan dan membatasi ruang gerak seseorang. Penahanan semestinya menjadi kewenangan lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan.
Rehabilitasi narkoba pun, kata dia, tidak bisa dilaksanakan secara sewenang-wenang.
“Pecandu narkoba sistem rehabilitasinya kan ada tata caranya, enggak sekedar orang ditahan. Bentuk pelatihan yang diberikan harus sesuai dengan penyembuhan dan rehabiltiasi. Kalau tidak ada kewenangan di situ itu sudah merupakan kejahatan karena melampaui kewenangan yang seharusnya mereka lakukan,” ujar Ninik.(red)